novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Di luar pintu kami yang tertutup, terdengar gelak tawa dan lengking suara musik dangdut. Suasana rutin malam-malam di lokalisasi. “Kalau boleh tahu, mulai kerja di sini gimana mbak?”

Saya menyodorkan pertanyaan itu kepada perempuan yang mengenakan celana panjang hitam dan kaus berwarna merah. Dandanannya biasa saja, jauh dari kesan menor.

Tapi yang paling mencengangkan saya adalah banyaknya kalimat-kalimat tauhid yang keluar dari lisannya.

“Astaghfirullah… ya, saya juga tahu ini salah mbak…”
“Ya pengin berhenti juga sih kadang Mbak, malu sama Yang Di Atas. Malu sama anak-anak kalau sampai tahu.”

“Oh, setiap harinya? Kalau lagi ramai alhamdulillah bisa empat orang, mbak!”
Penampilan serta gaya bicara mbak, yang dapat saya kira berasal dari satu daerah di Jawa Tengah itu, sungguh telah mengubah bayangan saya tentang mereka yang menyandang predikat pelacur di mata masyarakat.

Kembali ke pertanyaan awal saya, perempuan itu tampak tercenung sejenak. Matanya sedikit berkabut ketika mulai bertutur,

“Awalnya karena suami saya, Mbak. Suami sering nggak pulang. Akhirnya suatu hari saya ikuti diam-diam. Saya jadi tahu ternyata suami suka ke tempat ini…”

Saya mendengarkan, membiarkan perempuan itu meneruskan ceritanya kapan saja dia merasa nyaman.

“Lalu saya ribut sama suami. Sebab suami tetap nggak mau berhenti ke sini. Soalnya di sini dia sudah punya cem-ceman. Akhirnya suami malah ninggalin saya, Mbak…
pergi dan nggak ada kabarnya.”

Saya tersenyum kecil mendengar istilah yang digunakannya barusan. Di hadapan saya, perempuan dengan rambut pendek itu menarik napas panjang.

“Ya, ditinggal begitu saya bingung. Akhirnya saya coba cari suami ke sini kali aja dia nemuin pacarnya lagi.”

Perempuan berkulit kuning langsat itu menatap saya, mencoba menyunggingkan senyum, ketika bibirnya yang bergetar terbuka,

“Tapi saya nggak nemuin dia. Pikiran saya pengin pulang ke kampung tapi malu. Pulang kok sendiri, nggak sama suami. Lagian mikir anak saya mau dikasih makan apa? Saya nggak punya keterampilan.”

Jadi?

Sosok di depan saya tersenyum salah tingkah, “Akhirnya saya malah kerja di sini, mbak. Tempat yang dulu sering dikunjungi laki saya…” Ironis.

Tetapi bisakah saya begitu saja menyalahkan profesinya yang kerap mengancam ketenangan setiap istri? Berkata seharusnya perempuan itu lebih kuat, seharusnya dia kembali saja kepada keluarganya di kampung. Bukankah lebih baik menganggur daripada melacur?

Tetapi bukan saya yang berada di posisinya. Saya tidak mengetahui persis situasi yang dia hadapi, latar belakang keluarga, usia dan kondisi sebenarnya anak dari perempuan di hadapan saya ini, dan karenanya tidak pantas menghukum dengan alasan apapun, apalagi berdasarkan asumsi.

Saya menjabat tangannya dan mengucapkan terima kasih, seraya menyelipkan sejumlah uang atas waktu yang telah diberikannya. Perempuan itu tampak kaget sejenak, kemudian memeluk saya dan mengucapkan terima kasih berkali-kali, sambil berbisik,

“Doakan saya ya mbak, suatu hari nanti…” Kalimat itu tidak selesai, tapi saya tahu apa yang harus saya lakukan.
Mengamininya.
Tanah Abang, 31 Desember 2003
Saya Ingin Dia Memilih
“Jika pergi berduaan ke hotel, aktivitas apa yang biasanya mereka lakukan? Silahkan cek kembali.”

Kalau bukan karena saya percaya kepada Mbak Asma Nadia, penulis yang selama ini saya lihat sangat memperhatikan idealisme dalam karya-karya nya, dan berusaha berbagi kepada perempuan Indonesia, rasanya tidak mungkin saya menceritakan kisah ini dan meminta beliau menuliskannya.

Menikah dengan lelaki baik

Panggil saya Amini. Usia dua puluh tahun saya menikah dengan lelaki yang dua tahun lebih tua dari saya. Arief adalah lelaki yang sangat baik.
Kadang-kadang memang perkataannya keras dan menyakitkan, tapi saya bisa menerima sebab biasanya ada alasan kuat hingga dia merasa perlu menegur dengan keras.

Tetapi di luar itu tidak pernah Arief berlaku kasar apalagi hingga main tangan. Bukti kasih sayangnya pada saya, teruji ketika saya harus melahirkan. Kebetulan karena penyakit asma yang akut, saya tidak bisa melahirkan normal, hingga ketiga anak kami lahir melalui operasi caesar. Waktu itu kondisi ekonomi memang masih minim.

Saya harus melahirkan di rumah sakit pemerintah, kelas tiga, karena hanya itulah kesanggupan kami.

Tetapi Arief menunjukkan tanggung jawab yang besar.

Sejak konstraksi hingga akhirnya keputusan caesar, dia tidak pernah meninggalkan saya dan selalu menemani di rumah sakit. Bahkan rela tidur di kolong ranjang rumah sakit dengan alas seadanya. Dia juga tidak membiarkan saya ke kamar mandi sendiri, setelah hari kedua operasi.
Dengan sabar dan tanpa rasa jijik dia ikut masuk ke kamar mandi, menunggui saya bahkan mengambil alih tugas memandikan saya dari tangan suster.

Saya kira, sayalah yang paling beruntung dibandingkan keenam perempuan lain yang sama-sa ma operasi caesar.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana seorang ibu terpaksa menahan nyeri dan berjalan pelan sambil menenteng infus, ke kamar mandi, karena suami tidak bisa dibangunkan.

Malah ada yang menyuruh istrinya berjalan sendiri. Sama sekali tidak khawatir jika istri yang membawa luka bedah yang belum kering terpeleset dan jatuh di kamar mandi misalnya.

Hal ini saya catat betul dalam hati. Kebaikan Arief yang membuat saya sangat terharu. Apalagi setelah itu, Arief tidak segan-segan turun tangan untuk membantu memandikan bayi, hingga urusan ganti diapers ketika anakanak menjelang batita.
Satu persatu anak-anak kami tumbuh, dekat tidak hanya kepada saya, tetapi juga kepada papa mereka. Sebagai ayah, komitmen Arief memang luar biasa.Saya sempat membaca buku Rumah Cinta Penuh Warna karya Mbak Nadia, dan menemukan kemiripan sosok suami Mbak Nadia yang juga suka ber main dengan anak-anak.

Tipe lelaki rumahan, begitulah Arief. Sepulang dari kantor, Arief selalu kembali ke rumah. Seperti tak sabar untuk berkumpul dengan istri dan anak-an aknya. Jarang lelaki itu keluar rumah kalau tidak perlu sekali. Jarang pula menghabiskan waktu sekadar ngurnpul-ngurnpul dengan teman lelaki lain di kantor
Badai itu datang
Ujian bagi rumah tangga kami muncul ketika usia perkawinan mencapai angka tujuh belas tahun.

Saya tidak sengaja menekan tombol play pada video yang direkam di hp Arief. Awalnya masih berprasangka baik, meski heran… bagaimana Arief bisa tertarik merekam seseorang gadis.

Tidak ada adegan mesra. Hanya sosok si gadis, berjilbab yang berbicara sambil tertawa-tawa (sepertinya ditujukan kepada Arief yang sedang merekam).

Ada pun isi kata-katanya tidak terlalu jelas terdengar.
Gadis itu, saya tidak mengenalnya dengan dekat. Saya hanya mengetahui sosoknya sebagai adik dari seorang teman yang sempat menghadiri satu seminar dengan Arief, dan kemudian beberapa kali rapat terkait bisnis. Beberapa kali saya dan kakak si gadis bertemu dan menjadi akrab.
Meski tanpa tendensi apa-apa, video itu saya perlihatkan kepada Arief. Saya agak kaget melihat reaksi Arief yang luar biasa terkejut. Wajahnya berubah dan terlihat ‘menarik diri’. Dari situ saya jadi bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka? Tapi percakapan kami tertunda karena Arief harus berangkat ke kantor.